Bicara
tentang Sarah dan Antik memang tidak akan ada habisnya, hari ini
Minggu, 31 Januari 2016; tepat hari ke-tiga saya di umur yang ke 19
tahun ini kita memutuskan untuk pergi ke Dunia Fantasi (Dufan).
Direncanakan dari jauh-jauh hari, Alhamdulillah hari ini kami jadi
menghabiskan waktu kami di Dufan.
Hari
ini dimulai dengan terbangun karena Adzan Subuh, tapi karena tergoda
dengan kehangatan kasur di kamar yang biasanya tidak dirasakan ketika
hari-hari penuh perjuangan di kamar kos, maka saya pun melanjutkan tidur
saya. Alhasil sekitar pukul 6:40 pagi mamah mengetuk pintu kamar dan
bertanya: “kata-nya hari ini mau pergi?”. Saya pun terbangun dari tidur
dan bergegas menghubungi Sarah dan Antik terlebih dahulu. Setelah
memastikan dimana dan pukul berapa kami akan bertemu, saya memulai
persiapan perjalanan ini dari mulai menyiapkan barang-barang yang akan
dibawa, sarapan pagi, mandi dan berhias seadanya, meskipun ada kendala
sedikit untuk membantu Babeh untuk memanggil saudara sepupu, namun
pertemuaan saya dengan Sarah dan Antik tidak terganggu meskipun harus
merubah tempat pertemuan kami yaitu dari KFC Kisamaun menjadi Stasiun
Kota Tangerang dikarenakan macetnya jalanan yang harus saya lewati.
Saya
tiba di stasiun lebih awal, kurang lebih pukul 8:40 pagi, karena takut
tertinggal oleh kereta, saya bertanya kepada bapak satpam penjaga pintu
masuk/keluar dan mendapatkan jawaban bahwa kereta akan berangkat pukul
8:45 pagi, meskipun Sarah dan Antik ketika datang masih perlu membeli
tiket masuk, Alhamdulillah kami masih dapat mengejar kereta dengan
jadwal keberangkatan pukul 8:45 pagi.
Setelah
kurang lebih empat bulan tidak melihat Sarah dan Antik, dan cukup
jarang-nya kami melakukan komunikasi, saya sempat pangling melihat
mereka, dua orang yang “dulu” dapat saya lihat dengan mata kepala saya
hampir setiap hari. Namun, ada beberapa hal dari mereka yang dari dulu
sampai sekarang masih saya kenali. Meskipun secara fisik mereka sudah
menunjukan “proses pendewasaan” hal-hal yang wajar, sifat-sifat mereka
yang dulu masih sama, masih menerima saya apa adanya. Seketika,
masalah-masalah perkuliahan yang sangat rumit pun hilang, setidaknya
untuk sementara.
Di
dalam kereta, hanya Antik yang mendapatkan tempat duduk; saya dan Sarah
hanya berdiri di dekat pintu masuk/keluar kereta. Selama perjalanan
kami, kami isi dengan bercanda gurau. Topik lawakan kami tentu tidak
akan jauh dari hal-hal yang kami ketahui selama SMA dulu. Meskipun
menurut orang lain hal itu dapat membosankan, namun kami masih saja
membahasnya. Disela-sela candaan kami, Sarah mengelurkan kado untuk saya
dari tas-nya. Guess what? Dia memberi saya Eau De Toillet dari
Victoria’s Secrect yang beberapa bulan lalu hampir saya beli, sayangnya
kado Sarah kali ini tidak dilengkapi dengan “surat” yang biasanya
menghiasi setiap kado yang Sarah berika di tahun-tahun sebelumnya.
Inilah penampakan dari Eau De Toillet tersebut:

Ketika
perjalanan kami hampir sampai di Stasiun Duri, wanita yang duduk
disebelah kanan Antik pun pergi dan Sarah mengisi kekosongan kursi,
namun tidak lama kemudian ada rombongan ibu-ibu yang datang dan Sarah
memberika kursinya untuk rombongan ibu-ibu tersebut diikuti oleh Antik.
Kurang dari 10 menit kami pun tiba di stasiun transit yaitu stasiun
Duri. Setelah turun dari kereta yang kami tumpangi, kami pun bergegas
menuju kereta selanjutnya untuk mengantar kami ke Stasiun terdekat
dengan Ancol yang dapat kami tumpangi yaitu stasiun Kampung Bandan.
Beruntungnya
di kereta kali ini kami ber-tiga mendapatkan kursi untuk duduk. Bukan
Sarah dan Antik memang jika tidak menemukan hal-hal biasa untuk
dijadikan lelucon. Tiba-tiba saja mereka tertawa berdua dan membuat saya
bingung, ternyata alasan mereka tertawa adalah wanita yang duduk di
depan kami mereka anggap mirip teman kami di SMA dulu. Sejujurnya saya
cukup binung karena saya rasa wanita itu tidak mirip dengan teman kami,
tapi saya ikut tertawa karena melihat mereka tertawa dengan lepasnya,
alhasil mereka berfikiran saya terus menerus mengamati wanita tersebut
dan menertawakan wanita tersebut, padahal itu bukan alasan yang
sebenarnya. Disela-sela candaan kami Sarah dan Antik (mereka sudah cukup
mahir masalah KRL Jabodetabek) tiba-tiba terhentak dan mendengarkan
dengan seksama apakah stasiun tujuan kami sudah dekat atau belum,
ternyata benar saja sudah dekat, jika kami terus-menerus bercanda gurau
dan tidak mendengarkan pengumuman dari speaker, mungkin saja stasiun
tujuan kami dapat terlewatkan.
Sesampainya
kami di stasiun Kampung Bandan, kami pun langsung bergegas menanyakan
kepada satpam stasiun ke mana arah menuju Ancol, satpam tersebut pun
memberi tahu kami arah sekaligus Angkutan Kota (Angkot) yang dapat
mengantar kami ke Ancol. Setelah melewati tangga jalan dan jembatan
penyebrangan yang menurut Sarah rawan akan kerusakan, kami pun menaiki
Angkot menuju Ancol (jika saya tidak salah Angkot-nya M15A). Kami pun
menyiapkan uang sebesar Rp. 4,000 (perintah Antik) untuk membayar
Angkot, namun kami terkaget karena perjalanan kami sangat amat singkat
sehingga kami hanya membayar Rp. 3,000 (per orang).
Akhirnya
kami tiba di gerbang Ancol, dan membayar sebesar Rp. 25.000 (per orang)
untuk melewati gerbang tersebut. Masih jelas diingatan saya tepat Idul
Adha September lalu saya, a Fahru, Uput dan ka Iffah tiba di gerbang
yang sama nemun kami harus membayar lebih karena mobil yang kami
tumpangi. Setelah melewati gerbang Ancol kami pun bergegas menuju Dufan.
Ketika sampai di Dufan kami menanyakan beberapa hal kepada penjaga dan
Sarah pun langsung mengantri membeli tiket dan mengurus kartu Annual
Pass, sedangkan saya dan Antik telah memiliki kartu Annual Pass, kami
berdua pun bergegas menuju pintu masuk. Antrian pintu masuk cukup
panjang, saya dan Antik menunggu antrian pertama yaitu pemeriksaan tas
dan antrian ke dua yaitu pemeriksaan kartu Annual Pass. Setelah melewati
kedua pemeriksaan kami menunggu Sarah sambil duduk terlebih dahulu.
Sambil menunggu Sarah, saya mengecek barang bawaan saya di tas, awalnya
saya dan Antik ingin mengambil foto selfie, namun keadaan kamera saya
belum memungkinkan ketika itu, sampai pada akhirnya Sarah selesai
mengurusi kartu Annual Pass nya dan kami bergegas menuju wahana-wahana
yang ada di Dufan.
Wahana
pertama yang kami coba adalah wahana kincir raksasa Bianglala, hal ini
dilakukan untuk pemanasan, karena Sarah tidak pernah berani menaiki
wahana apapun yang menguji adrenalin, meskipun kincir raksasa Bianglala
tidak termasuk wahana yang menegangkan, bahkan dapat dilihat dengan
banyaknya anak-anak kecil yang dapat menaiki wahana ini, namun Sarah
tetap saja terus menerus menghawatirkan permainan ini. Sebelum kami
menaiki wahana ini, antriannya cukup ramai tapi tidak terlalu lama, jika
tidak salah kami munggu dua sampai tiga bagian, dan ketika antrian
sedang maju saya menyampaikan bagaimana “nyesek” nya jika ketika kita
sudah berada di titik terdepan tetapi kuotanya telah cukup untuk bagian
tersebut, benar saja kami berada pada titik paling depan tetapi masih
harus menunggu. Aggar tidak terlalu jenuh selama menunggu kami sempat
mengambil beberapa foto selfie pertama kami di Dufan!

Setelah
mengambil beberapa foto selfie, bagian kami pun tiba dan kami pun mulai
menaiki wahana kincir raksasa Bianglala. Kami mendapat bagian bersama
keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan anak perempuan mereka yang
masih kecil. Selama menaiki wahana ini, Sarah tidak henti-hentinya
ketakutan ketika posisi kami berada paling tinggi. Ketakutan Sarah
mengundang keinginan saya untuk mengambil foto-foto selama kami berada
di arena kincir raksasa Bianglala. Foto-foto yang saya dapatkan cukup
untuk mengundang tawa, berikut adalah foto-fotonya:






Setelah
wahana kincir raksasa Bianglala selesai, Antik tidak henti-hentinya
“merasuki” Sarah agar berani menaiki wahana Kora-Kora atau Histeria.
Namun, sejak kami berada di atas wahana kincir raksasa Bianglala, Sarah
tidak henti-hentinya mengutarakan ketakutannya terhadap wahana
Kora-kora. Antik memiliki jurus “maut” untuk menggoda, sehingga Sarah
memutuskan untuk melihat terlebih dahurulu bagaimana wahana Histeria,
sebelum pada akhirnya rayuan “maut” Antik berhasil menggoda Sarah dan
Sarah pun setuju untuk menaiki wahana Histeria. Meskipun diwarnai dengan
proses kemcetan yang dikarenakan Sarah yang terlihat tidak meyakinkan
untuk berani menaiki wahana Histeria, namun pada akhrnya kami mengantri
diwahana yang cukup ramai ini. Awalnya saya memang agak takut menaiki
wahana ini untuk yang ke-dua kali-nya, namun saya lawan rasa takut itu,
karna saya merinduhkan kekagetan yang wahana ini berikan empat bulan
yang lalu. Setelah menunggu cukup lama, bagian kami pun tiba, syukurnya
kami mendapat tempat yang berdekatan. Saya duduk dipaling ujung, Sarah
dibagian tengah, selanjutnya ada Antik dan wanita yang kami tidak kenal
siapa. Ketika kami akan memulai permainan kami di Histeria, penjaga
wahana ini mungkin mendengan Sarah yang berlebihan ketakutannya,
sehingga memutuskan untuk membecandakan saya dan Sarah. Awalnya saya
berniat menakut-nakuti Sarah, berakhir dengan saya yang terkena tipuan
penjaga wahana ini yang mengatakan bahwa sabuk pengaman saya dan Sarah
kurang kuat. Namun, anehnya jika memang sabuk kami kurang pas, mengapa
mereka hanya bicara, tidak memperbaiki keadaan, saya pun melupakan hal
tersebut dan langsung pertunjukan Hsiteria pun dimulai.
Salah
satu wahana favorite saya adalah Histeria, hal yang paling membuat
jantung saya berdetak kencang adalah ketika saya sudah berada di atas
dan wahana ini menurunkan saya dengan secepat kilat. Wahana ini salah
satu hiburan untuk meluapkan kekesalan, penyesalan dan kesedihan di
semester III kemarin. Menurut saya wahana ini sangat mengkagetkan saya
sekali, sehingga saya dapat melihat keindahan pantai Ancol yang dapat
saya lihat dari ketinggian. Saya pun sempat melihat photograper yang
mengambil foto kami, dikarenakan saya sangat menikmati pemandangan di
depan saya, hampir saya lupa saya sedang berada di wahana yang cukup
menakutkan, namun setidaknya wahana ini tidak lebih menakutkan jika
dibandingkan dengan teriakan Sarah yang sangat amat kencang dan tidak
ada habisnya. Saya sebenarnya menghawatirkan Sarah akan pingsan karena
ketakutan ketika menaiki wahana ini, namun yang saya dengar selama
“pertunjukan” wahana ini adalah teriakan Sarah yang sangat mengundang
tawa banyak orang, sehingga kehawatiran saya pun hilang seketika. Jika
Sarah masih kuat teriak sekeras itu, tidak mungkin dia akan pingsan
dalam waktu setidaknya tiga menit kedepan. Pertunjukan wahana ini pun
selesai, dan kami disambut dengan tawa penjaga wahana dan ejekan mereka
dikarenakan kami percaya akan lelucon yang mereka ciptakan bahwa sabuk
kami kurang kencang, belum lagi ditambah orang-orang di pinggir kami
yang mendengar teriakan Sarah, mereka tertawa menghadap kami. Namun kami
malah sibuk bercerita satu sama lain dan tidak memperdulikan apa kata
orang. Kami pun tetap berbincang-bincang sambil menuju pintu keluar,
sebelum kami keluar, kami membeli satu foto kenang-kenangan dari wahana
Histeria, harga hard copy per foto seharga Rp. 30,000. Saat ini foto
tersebut berada di tangan Sarah. Lucunya, Sarah meminta foto yang ketika
dia membuka mulut-nya sangat lebar karena teriak untuk dicetak. Bukan
Sarah kalau tidak melakukan hal-hal yang akan membuat orang lain
tertawa. Ini adalah foto kenang-kenangan dari wahana Histeria:

Setelah
lelah berteriak di wahana Histeria, saya merasa lapar dan memutuskan
untuk makan di Yoshinoya (ini merupakan kali pertama saya mencoba
makanan di tempat ini). Sayangnya momen ini tidak diabadikan dikarenakan
Antik dan Sarah terlalu terburu-buru untuk meninggalkan tempat makan
ini dikarenakan waktu kami yang pendek. Dari Yoshinoya kami pun
memutuskan untuk melanjutkan ke wahana Istana Boneka, karena kondisi
kami yang baru saja selesai makan siang. Kami sempat tersesat dalam
perjalanan kami menuju Istana Boneka, sehingga kami harus kembali ke
pintu masuk dan mengambil jalan yang berbeda dari yang kami lalui.
Sambil menuju Istana Boneka kami masuk ke dalam Rumah Jail. Kami sempat
mengambil beberapa foto sebelum pada akhirnya kami mendengar seseorang
berbicara: “mah, tolongin aku mah” ditambah dengan hanya ada kami
ber-tiga di dalam ruangan tersebut. Saya pun ketakutan dan panik,
ditambah Antik yang tidak mau berada di barisan paling belakang membuat
saya lebih panik lagi. Meskipun pengakuan Antik dia tidak takut dengan
suara tersebut, namun melihat kepanikan Antik yang tidak mau berada
dibarisan paling belakang membuat saya curiga. Berikut ini adalah
foto-foto yang kami ambil ketika kami berada dalam rumah Jail (rumah
yang terdiri dari banyak kaca-kaca yang membuat kami hampir tidak bisa
keluar dan ketakutan karena ada suara yang menakutkan):



Setelah
keluar dari rumah Jail, kami melanjutkan perjalanan kami ke Istana
Boneka. Sesampainya kami ke Istana Boneka antrian yang kami dapati tidak
terlalu panjang. Sebelum masuk ke wahana Istana Boneka saya terus
ditakut-takuti Antik dan Sarah, mereka mengatakan bahwa wahana ini benar
menakutkan seperti yang dikatakan ka Iffah ketika terakhir kali kami ke
sini. Alhasil ketika kereta bagian kami datang, saya pun ketakutan dan
ingin duduk di tengah. Memang satu baris kursi dapat diduduki oleh tiga
orang, namun karena saya merasa kesempitan dan kursi dibelakang kami
kosong, saya meminta Antik untuk pindah, untungnya Antik mau mengalah
(mungkin karena Antik adalah orang yang paling ‘kolot’ dari kami bertiga
hehe). Di dalam wahana ini saya sama sekali tidak menemukan hal-hal
yang berbau mistis seperti yang diceritakan orang-orang sebelumnya,
bahkan wahana ini benar-benar wahana sarana edukasi mengenai
budaya-budaya di Indonesia maupun di negara-negara lain di benua Asia,
Eropa, Afrika dan lain-lain. Saya sempat mengambil beberapa foto dari
boneka-boneka yang ada dalam wahana ini, tetapi saya hapus karena saya
merasa kurang membutuhkan foto-foto tersebut. Selama perjalanan kami di
wahana ini ada seorang wanita yang melanggar peraturan yaitu dengan
keluar dari perahu yang membawanya dan berfoto di dekat boneka-boneka
yang ada di dalam wahana ini. Tidak lama kemudian, lagu anak-anak yang
sedang diputar dihendikan, jujur saya mengira akan diganti lagu yang
menyeramkan dan wahana menyeramkan pun akan dimulai, namun dugaan saya
salah, ternyata lagu tersebut dihentikan dikarenakan petugas
memperingati agar pengunjung tetap berada dalam perahu mereka. Tidak
lama kemudian kami pun menyelesaikan perjalanan kami di wahana ini. Kami
pun langsung bergegas ke wahana Ice Age, wahana yang sebelumnya ingin
kami coba tetapi karena waktunya belum menunjuan pukul 13:00 jadi kami
memutuskan untuk ke Istana Boneka terlebih dahulu.
Kami
samapai di wahana Ice Age kurang lebih pukul 12:55 dan kami dapati
antrian wahana ini sudah sangat panjang. Sarah dan Antik langsung
mengantri di tempat dan saya memutuskan untuk ke toilet terlebih dahulu.
Ketika saya sedang berada dalam perjalanan menuju toilet, saya
memutuskan untuk sekalian ke Musholla dan mengerjakan Shalat Dzuhur,
awalnya saya ingin mengajak Antik, namun saya takut Antik sedang tidak
Shalat jadi saya mengerjakan kewajiban saya sendiri terlebih dahlu, saya
juga awalnya takut tertinggal Sarah dan Antik karena antrian yang
dilalui mereka sudah dekat, namun mengingat antriannya cukup panjang
saya memberanikan diri untuk tetap Shalat dan benar saja ketika saya
kembali, Sarah dan Antik masih berada di antrian belakang. Setelah
Shalat Dzuhur, saya pun ke toilet dan kembali ke tempat tadi saya
meniggalkan Sarah dan Antik. Sesampainya saya di antrian, Antik dan
Sarah langsung menceritakan pasangan yang “terlalu berlebihan” yang
berada tepat di depan kami. Sarah dan Antik pun tidak segan-segan untuk
menyinggung dan membicarakan mereka berdua, namun mereka berdua tetap
merasa seperti dunia ini hanya milik mereka berdua, jadi mereka tidak
mengabaikan sindiran kami sama sekali. Wahana ini seperti tempat
favorite bebrapa pasangan, dapat dilihat bahwa banyaknya pasangan yang
mengantri di depan kami. Antrian yang sangat lama, membuat kami
memutuskan untuk mengambil beberapa foto selfie dan berbicara tentang
masa depan kami nanti. Berikut ini adalah foto-foto selfie kami:




Kegiatan
selfie dengan kamera saya tidak dapat diteruskan dikarenakan ketika
kami sudah masuk ke dalam antrian yang ada di dalam wahana, kamera saya
diminta untuk dimasukan ke dalam tas. Namun kami melanjutkan selfie
menggunakan handphone Sarah. Di dalam antrian yang sduah berada di dalam
wahananya, saya dapat melihat pengunjung yang telah selesai menikmati
wahana ini kebasahan, meskipun tidak parah, saya sempat sangat panik
karena tidak membawa baju ganti, padahal yang meminta untuk Sarah dan
Antik untuk membawa pakaian ganti adalah saya sendiri. Di dalam wahana
yang gelap saya sempat ketakutan dan bingung apakah ini wahana yang
berbau mistis atau bukan dikarenakan banyaknya lorong yang kami harus
lalui dan keadaan yang cukup gelap, ditambah lagi dengan pengunjung lain
yang mengelurkan suara suara aneh agar membuat pengunjung lain
ketakutan. Sesampainya kami di perahu, saya tetap ketakutan dan memilih
untuk duduk disamping pria yang datang dengan pasangannya, karena saya
tidak berani di ujung karena takut kebasahan. Sebenarnya wahana ini
tidak jauh berbeda dengan wahana Niagara, namun tidak lebih mengejutkan
ketika peruhau kami meluncur dan keadaannya yang cukup gelap membuat
kami tidak mengira bahwa akan ada kekagetan yang akan alami serta wahana
ini dilengkapi dengan cerita Ice Age nya.
Keluar
dari wahana Ice Age membuat pakian yang kami pakai cukup basah, jadi
kami memutuskan untuk langsung ke wahana Arum Jeram. Beruntungnya
antrian yang kami lalui sedang “kurang ramai” jadi kami tidak menunggu
terlalu lama. Wahana ini cukup membuat saya ingin menyobanya lagi, saya
suka, tetapi karena saya tidak membawa pakaian ganti jadi selama dalam
wahana ini saya terus mengkhawatirkan pakian saya. Setelah turun dari
wahana ini, kami meminta tiga orang wanita untuk mengambil foto kami dan
menawarkan bergantian, namun wanita itu menolak untuk kami ambil
fotonya. Berikut hasil fotonya:


Setelah
dari Arum Jeram kami menaiki wahana ayunan raksasa agar baju kami
kering. Seperti biasa, Sarah ketakutan dan Antik tidak hentinya
menengankan Sarah, sedangkan saya sibuk beristirahat dengan menyenderkan
kepala saya. Kaki Antik sempat mengenai ranting pohon, membuat dia
bercerita setidaknya dua kali karena kejadian itu. Entah mengapa saya
sangat lemas dan ingin makan lagi, alhasil setelah dari wahana ayunan
raksasa tersebut kami ke ATM Centre untuk mengambil uang dan makan
sebentar di Mc Donald’s. Di Mc Donald’s hanya saya yang makan. Setelah
dari Mc Donald’s kami awalnya ingin memasuki wahana Perang Bintang,
namun wahana ini sedang tutup ketika kami datangi. Kami pun
menggantiagenda kami, Sarah dan Antik kemudian makan Pop Mie dan saya
sedang Shalat Ashar. Setelah Shalat Ashar kami bertemu di wahana
kuda-kudaan, ketika itu sedang ada pawai dan kami mencoba wahana
kuda-kudaan dengan pemandangan anak-anak kecil disekeliling kami.
Setelah itu Sarah dan Antik berganti pakaian, lalu kami pulang
meninggalkan Dufan. Berikut ini adalah foto-foto terakhir kami di Dufan:


Setelah
kami meninggalkan Ancol, di depan pintu masuk Ancol ada beberapa angkot
yang memiliki tujuan yang berbeda-beda, meskipun awalnya kami sempat
berniat akan menggunakan Taxi keteika pulang nanti karena jalan menuju
stasiun Kampung Bandan yang cukup kurang penerangan di malam hari kami
pun akhirnya memutuskan untuk menggunakan jasa Angkot dikarenakan trauma
Antik yang pernah “dibohongi” supir Taxi dan Sarah pun berfikiran jika
bisa lebih murah dengan Angkot, mengapa harus menggunakan Taxi. Alhasil,
kami menaiki Angkot yang sebelumnya kami tanyakan terlebih dahuhu
apakah angkot ini akan melewati stasiun tujuan kami yaitu stasiun
Kampung Bandan atau tidak. Di jalan saya bertemu bapak tua yang menjual
minuman dingin. Saya sangat ingin turun dan membeli air yang bapak tua
itu jual. Betapa pekerja kerasnya bapak tua itu, bapak itu masih lebih
memilih untuk berjualan dari pada meminta-minta. Sayangnya, kebodohan
saya melebihi keinginan saya untuk memberikan bantuan untuk orang lain
terjadi lagi. Saya tidak berani meminta untuk berhenti sejenak, dan
memilih untuk terus duduk di Angkot yang supirnya menipu kami. Tak lama
kemudian, kami diberitahu bahwa stasiun yang dimaksud adalah stasiun
Jakarta Kota, bukan stasiun Kampung Bandan. Antik pun sempat kesal dan
kami pun memutuskan untuk turun di tempat yang jelas namanya agar kami
dapat memesan Taxi. Di tempat kami turun, kami tidak mengetahui apa nama
daerah tersebut dan gedung yang kami pilih untuk turun dari Angkot pun
tidak ada dalam jangkauan Taxi yang ingin kami pesan. Kami pun
memutuskan untuk bertanya kepada kumpulan warga yang ada di dekat kami.
Meskipun awalnya saya takut akan penipuan, namun jika saya tidak
bertanya saya tidak akan pernah tau. Alhamdulillah, kumpulan warga itu
memberi tahu kepada kami jalan menuju stasiun kampung Bandan dan
kendaraan umum apa yang perlu kami naiki.
Setelah
berjalan sedikit dan menemukan pertigaan, kami pun menunggu kendaraan
umum yang perlu kami naiki, sayangnya setelah kami menunggu cukup lama,
kendaraan umum yang kami butuhkan pun tidak kunjung tiba, sampai pada
akhirnya saya memutuskan untuk memesan Taxi. Setelah kami memesan Taxi,
kendaraan umum yang kami butuhkan pun melewati kami, kurang beruntungnya
kami, setelah kendaraan umum tersebut melewati kami, supir Taxi pun
MEMBATALKAN pesanan kami. Alhasil kami pun memutuskan untuk menunggu
angkutan umum lagi, meskipun cukup lama, Alhamdulillah kami akhirnya
mendapatan Angkot yang kami butuhkan. Di dalan Angkot pun saya, Sarah
dan Antik terus bercanda gurau dan pastinya Antik mengerluarkan keluh
kesalnya karena ditipu oleh supir Angkot sebelumnya. Antik juga
berkali-kali mengatakan bahwa saya takut. Saya pun bingung mengapa saya
disebut takut, dan Sarah pun berfikiran bahwa saya takut karena kami
terancam tersesat. Namun ketika kami Alhamdulillah sampai di stasiun
tujuan kami, Antik pun menceritakan bahwa dia takut dengan lelaki yang
duduk dipinggir saya yang terus memandangi dia (CIEEE). Kami pun
berjalan sedikit dan sampai di stasiun tujuan kami dan menaiki kertea ke
arah stasiun Duri.
Selama
perjalnan kami membahas tentang sosial media, dan tawa serta canda pun
tak terhindarkan sampai pada akhirnya kami tiba di stasiun Duri dan saya
hampir menaiki kereta yang salah hehehe. Akhirnya kamipun sampai di
Tangerang dengan selamat. Saya tergesa-gesa meninggalkan stasiun
meskipun saat itu sedang hujan cukup besar karena harus shalat Magrib.
Meskipun cukup sedih karena momen perpisahan kami sangat amat singkat,
namun kami melanjutkan tawa dan canda kami lewat sosial media :-)
NB:
See you next time, Antik & Sarah
Selamat memasuki semester IV
Jangan lupa sama gue ya hehe